Thursday, July 6, 2017

Admin

Kebaikan Sejati

Renungan Hari Jumat, 07 Juli 2017.

Kebaikan Sejati

Karena saya bertumbuh besar di Jamaika, orangtua membesarkan saya dan saudara perempuan saya untuk menjadi “orang baik”. Di rumah kami, baik itu berarti menaati orangtua, bicara jujur, berhasil di sekolah dan pekerjaan, dan pergi ke gereja . . . setidaknya saat Paskah dan Natal. Saya pikir definisi tentang orang baik seperti itu dimiliki oleh banyak orang, apa pun budayanya. Bahkan di Filipi 3, Rasul Paulus memakai definisi “baik” dalam budayanya untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam.

Sebagai orang Yahudi yang taat di abad pertama, Paulus mengikuti persis norma dan hukum moral dalam budayanya. Ia lahir dalam keluarga yang “baik”, berpendidikan “baik”, dan beragama dengan “baik”. Bisa dikatakan, Paulus adalah contoh ideal dari orang baik menurut budaya Yahudi. Di ayat 4, Paulus menulis bahwa ia bisa saja membanggakan semua kebaikannya itu. Namun, sebaik apa pun dirinya, Paulus menyatakan kepada pembacanya (dan kita semua) bahwa ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada menjadi orang baik. Ia tahu bahwa menjadi orang baik, meski itu sendiri adalah baik, tidaklah sama dengan menyenangkan hati Allah.

Menyenangkan hati Allah, seperti yang ditulis Paulus di ayat 7-8, berarti mengenal Yesus. Paulus menganggap segala kebaikan dirinya sebagai “sampah” jika dibandingkan dengan “pengenalan akan Kristus Yesus, . . . lebih mulia dari pada semuanya.” Yang baik—dan menyenangkan Allah—adalah beriman dan berharap hanya kepada Kristus, bukan pada kebaikan diri kita sendiri. —Karen Wolfe

Ya Allah, dalam usahaku menjalani hidup yang baik, tolonglah aku mengingat bahwa mengenal Yesus adalah satu-satunya jalan kepada kebaikan sejati.

Yang baik—dan menyenangkan Allah—adalah beriman dan berharap hanya kepada Kristus, bukan pada kebaikan diri kita sendiri.

Subscribe to this Blog via Email :