Renungan, Jumat 14 Juli 2017
Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya. —Keluaran 33:11
Meski saat ini dunia kita sudah terhubung secara elektronik dengan
begitu luasnya, tetap saja tidak ada yang dapat mengalahkan kebersamaan
yang dilakukan dengan tatap muka. Saat kita bertukar cerita dan tertawa
bersama, tanpa disadari, kita bisa merasakan perasaan lawan bicara kita
hanya dengan melihat mimik mereka. Para kerabat atau sahabat yang saling
mengasihi tentu merasa senang sekali apabila mereka dapat bertemu dan
bertatap muka.
Kita melihat hubungan seperti itu terjadi antara Tuhan dengan Musa,
orang yang dipilih Allah untuk memimpin umat-Nya. Seiring berjalannya
waktu, dari tahun ke tahun, Musa semakin mantap mengikut Allah. Ia
bahkan terus mengikut Allah walaupun bangsanya memberontak dan menyembah
berhala. Setelah bangsa itu menyembah anak lembu tuangan dan bukan
Tuhan (lihat Kel. 32), Musa mendirikan kemah di luar perkemahan sebagai
tempat untuk bertemu Allah, sementara bangsa itu melihatnya dari
kejauhan (33:7-11). Ketika tiang awan yang melambangkan kehadiran Allah
turun ke kemah itu, Musa berbicara atas nama bangsanya. Allah berjanji
bahwa kehadiran-Nya akan menyertai mereka (ay.14).
Karena kematian Yesus di kayu salib dan kebangkitan-Nya, kita tidak
lagi membutuhkan seseorang seperti Musa untuk berbicara kepada Allah
bagi kita. Sebaliknya, seperti yang dinyatakan Yesus kepada
murid-murid-Nya, kita dapat menjalin persahabatan dengan Allah melalui
Kristus (Yoh. 15:15). Kita pun dapat berjumpa dengan Allah, saat Dia
berbicara kepada kita seperti seseorang berbicara kepada sahabatnya.
—Sheridan Voysey
Nanti muka dengan muka langsung akan kukenal.
Tuhan Yesus, Juruselamat, Pengasihku yang kekal! —Carrie E. Breck
(Kidung Jemaat, No. 267)
Kita dapat berbicara kepada Tuhan layaknya berbicara dengan sahabat.