Monday, May 9, 2016

Admin

Alkitab Digital / Alkitab di HP

Alkitab Digital dan Kerancuan Kekristenan Kita

GBKP Cikarang  -  Persoalan sederhana yang dibuat ribet ini, dirumuskan dalam satu kalimat tanya, “Apakah boleh membaca Alkitab digital dari perangkat telepon pintar (HP atau hape) dalam ibadah di Gereja?”
Dua paragraf pertama di atas akhirnya membawa kita pada beberapa pertanyaan.

  • Apa persoalan yang timbul jika membaca Alkitab digital dalam ibadah Gereja ?
  • Apakah persoalan itu benar-benar penting untuk kita bicarakan dengan intensitas tinggi, bahkan menjurus nyinyir ?
  • Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap Alkitab sekenaan dalam konteks kemajuan teknologi ?
Saya akan mencoba menyumbang pemikiran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara acak dalam uraian saya berikut ini.
Beberapa Keberatan

Ada klaim sepihak bahwa Alkitab digital dari hape tidaklah alkitabiah. Keberatan ini mengatakan Alkitab yang ditulis di atas kertas dan dikemas dalam bentuk bukulah yang alkitabiah.

Ada juga yang berkeberatan karena Alkitab digital di hape bisa menimbulkan kecemburuan sosial. Menurut klaim ini, ketika Alkitab dibuka dari hape, orang disamping kita (saat ibadah) malah akan melihat merk, seri, dan harga dari hape itu. Argumen ini berusaha “mengantisipasi” munculnya “dosa” (kecemburuan) selama berlangsungnya ibadah.

Keberatan lainnya sedikit lebih logis. Alkitab digital yang disimpan dalam hape, jika dibuka ketika ibadah berlangsung, bisa mengakibatkan distraksi fokus dalam ibadah. Kemungkinannya adalah jemaat malah jadi membuka akun media sosialnya, membuka situs yang lain, chatting, atau bahkan membuka situs porno.

Ada juga yang mengaitkannya dengan kekudusan (sakralitas) ibadah. Menurutnya, membuka hape dalam ibadah adalah tindakan tidak kudus. Itu mencoreng kekudusan ibadah itu sendiri.

Terakhir, ada juga keberatan yang lebih “moderat”. Disatu sisi, Alkitab digital dari hape bisa digunakan HANYA oleh jemaat biasa, tapi itu tidak diperkenankan dipakai Pendeta yang berkhotbah di atas mimbar. Alasannya, dalam tradisi Calvinis (bukan Lutheran), sebelum Pendeta naik ke atas mimbar, Penatua Gereja akan mengawal Pendeta sambil memegang Kitab Suci dan menyerahkannya sebelum Pendeta naik mimbar untuk berkhotbah. Ini adalah sebuah tanda simbolis bahwa Penatua  adalah “penjaga” dari ajaran yang akan disampaikan oleh Pendeta dari mimbar. Konsekuensinya adalah jika Pendeta didapati tidak menyampaikan ajaran yang sesuai dengan Alkitab, maka Penatua yang menyerahkan Kitab itu, berhak mengambil kembali Kitab itu dan menurunkan Pendeta dari atas mimbar. Jadi untuk meneruskan tradisi ini, haram hukumnya bagi Pendeta untuk membawa Alkitab digital ke atas mimbar.
Respon Terhadap Keberatan

Berapa keberatan di atas sebenarnya bersifat klaim. Klaim merupakan argumentasi tidak berdasar. Dia selalu bersifat subjektif. Subjektifitas sama seperti selera, dia tak bisa diperdebatkan. Dia harus selalu dihargai, walau tak perlu diterima.

Jika Alkitab digital diklaim sebagai tidak alkitabiah, maka pertanyaannya adalah “Alkitab seperti apa yang alkitabiah?”

Alkitab memiliki sejarah panjang berusia ribuan tahun – jika diukur dari Taurat. Jika ditelisik dari model kemasannya, Alkitab yang adalah firman Tuhan tidak berkemesan. Saya akan menghindari debat soal mekanisme “turunnya” firman itu dari langit, tapi yang pasti firman itu diwariskan secara turun-temurun, dari generasi yang tua kepada generasi yang muda lewat bertutur dengan kata. Kebudayaan Israel terkenal dengan budaya “shema”, dalam bahasa Ibrani berarti “dengar” (Ul. 6:4). Firman itu didengar lewat kata, bukan dibaca lewat aksara. Ini dikenal sebagai tradisi oral.

Baru kemudian sekitar abad 6-10 M, muncul kelompok yang menuliskan warisan “intelektual” yang disebut sebagai firman Tuhan dalam aksara. Mereka dikenal sebagai kaum Masoret. Merekalah yang menambahkan tanda vowel (huruf vokal/hidup) dalam aksara Ibrani. Mereka mulai membakukan, menentukan paragraf, dan ayat dalam firman itu. Kemudian setelah ini, berkembanglah ragam tulisan firman.

Kemasan yang digunakan sebagai media firman ketika itu bukanlah kertas. Ini terlihat dari penemuan arkeologis yang menunjukkan media tulis yang digunakan adalah kulit binatang (perkamen) dan serat tumbuhan alang-alang (papirus). Baru kemudian, dalam perkembangan teknologi, perkamen dan papirus dirasa tidak lagi cocok, kompatibel, atau praktis, maka media kertas digunakan. Apalagi ini disokong oleh penemuan mesin cetak Guttenberg pada abad 16, membuat Alkitab dalam bentuk kertas semakin mudah dan praktis.

Jadi sejauh ini, ada tiga tahap besar perubahan kemasan firman (Alkitab): tidak berkemasan, papirus-perkamen, dan kertas. Pertanyaan yang sama kita ajukan seperti dalam klaim sebelumnya, “Dari tiga tahapan besar ini, manakah Alkitab yang benar?” Jika mengacu pada keaslian (originalitas) seperti klaim di atas, maka seharusnya jawabannya adalah kemasan dalam tradisi oral itu. Dengan demikian, agar konsisten dalam argumen, kita harus menolak Alkitab dalam bentuk kertas seperti yang lazim sekarang. Konsekuensi dari jawaban ini hanya akan berujung pada kekonyolan semata.

Jadi, manakah yang Alkitab yang alkitabiah?

Keberatan yang lain tentang distraksi fokus dan kecemburuan sosial dalam ibadah pada dasarnya memiliki pijakan argumen yang sama. Asumsi dasar dari argumen ini adalah fokus selalu ditentukan oleh faktor eksternal – diluar diri. Jika demikian, ada baiknya melarang jemaat membawa otaknya kedalam ibadah. Otak bisa membawa kita berimajinasi kepada hal lain yang melarikan fokus dan rasa cemburu pada ujung kuku si Butet yang cantik karena rajin pedicure.

Tak bisa disangkal, dalam ilmu semiotika, manusia adalah mahluk simbolis. Manusia selalu berhadapan dengan simbol dan berusaha memaknainya. Manusia juga menciptakan simbol untuk mengenang sesuatu yang dianggap sakral, seperti serah-terima Alkitab dari Penatua kepada Pendeta. Pertanyaannya sekarang adalah “Apakah manusia dan simbol itu berjarak atau tidak? Bagaimana relasi simbol, makna, dan manusia? Apakah manusia tunduk pada simbol atau sebaliknya? Apakah simbol itu bergerak atau tidak? Bisakah simbol berubah?”

Serah-terima Alkitab adalah suatu tradisi yang tidak mutlak dalam tradisi Gereja. Ini bermula dari tradisi Gereja Calvinis dengan slogan “Sola Scriptura”. Sebuah slogan, yang pada dasarnya, yang tidak dikenal dalam tradisi Gereja perdana. Baru pada abad 16, gerakan Reformasi Gereja Protestan di Jerman, merasa perlu menekankan ini sebagai respon terhadap sistem klerus (imam) Gereja Katolik, yang dianggap sewenang-wenang dalam menafsir Alkitab demi kepentingan ekonomi-politiknya. Tidak semua Gereja menerapkan simbol serah-terima Alkitab ini dalam kegiatan ibadahnya. Dengan demikian, melarang Alkitab digital hadir di atas mimbar, agar tradisi ini terjaga, adalah sikap fanatisme berlebihan. Sah-sah saja menerima ini sebagai pandangan kelompok tertentu, tapi menjadi salah ketika dimutlakkan untuk diterima semua.

Jadi bagaimana sikap terhadap Alkitab digital itu? Sejarah menunjukkan bahwa media yang digunakan untuk merekam firman itu selalu berkembang mengikuti kemajuan teknologi. Jadi, pada dasarnya, tidak ada persoalan cukup serius dalam peralihan teknologi kertas pada huruf-huruf digital hasil kombinasi algoritma angka binom itu.
Apa Signifikansi Membicarakan Ini?

Dari awal, saya sudah menekankan bahwa ini adalah sebuah pembicaraan yang tidak penting. Walau tidak penting, tapi setidaknya, kenyinyiran ini menjadi indikasi serius betapa rancunya kekristenan kita sekarang. Hangatnya pembicaraan ini setidaknya memberi kita tanda bangkitnya lagi arwah-arwah para ahli Taurat yang sangat dibenci Yesus.

Ahli Taurat adalah musuh utama Yesus karena penekanan mereka pada sisi legalitas mengaburkan tujuan utama firman itu diilhamkan. Yesus tidak hanya mengolok-olok mereka sebagai kuburan yang indah diluar tapi busuk didalam (Mat. 23:27), Dia juga memaki mereka dengan sebutan keturunan ular beludak (Mat. 23:33). Yesus merendahkan para pemuja simbol dan religiusitas palsu ini ketaraf yang paling hina. Kenyinyiran ini sedang mengindikasi kekristenan kita sedang berjalan ke taraf ini.

Kita begitu semangat membicarakan sesuatu yang tidak Yesus ajarkan. Kita bisa menjawab bahwa menolak Alkitab digital itu demi kekudusan nama Tuhan dan ibadah itu sendiri. Bukankah alasan ini juga yang dilontarkan para “keturuan ular beludak” itu dimasa Yesus? Dengan segala ritual itu, Yesus malah menunjuk hidung orang-orang saleh ini dengan mengatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: KEADILAN dan BELAS KASIHAN dan KESETIAAN. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.” (Mat. 23:23).

Kita nyinyir membicarakan persoalan remeh temeh ini, tapi kita lupa mengingat orang-orang yang menuntut keadilan karena haknya dicuri seperti para petani di Rembang, orang-orang yang rumahnya digusur, tragisnya angka pengangguran, dan berbagai persoalan keadilan sosial lainnya. Kita seolah menganggap persoalan Alkitab digital ini, demi kekudusan ibadah, jauh lebih penting dibandingkan ratusan jiwa rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh sistem tertentu. Kita menganggap ibadah diempat sisi tembok jauh lebih kudus dibanding solidaritas terhadap rakyat yang termarginalkan.

Kritik nabi Yesaya sangat cocok dalam konteks kekristenan kita saat ini. Yes. 1:10-17 adalah kritikan pada cara hidup orang Israel yang ketat dalam “kekudusan ibadah” namun dianggap kejijikan oleh TUHAN. Mereka hebat dalam perayaan ibadah, tapi melupakan untuk mengusahakan keadilan, memperjuangkan hak para janda sebagai simbol masyarakat kelas dua, mengendalikan (mengganti, Ibr.) orang jahat, dan membela hak anak yatim.

Inilah kita sekarang. Kekristenan yang rancu.

Teologi Rakyat

Subscribe to this Blog via Email :