Friday, March 23, 2018

Unknown

Bukan Kehendakku, Tetapi Kehendak Tuhanlah yang Terjadi

























Lukas 22:41-42
JIKA berdoa, apa yang kita minta pada Tuhan ? Tentu banyak. Yang sering kita minta, biasanya yang pertama adalah minta kesehatan, minta umur panjang, minta kekayaan dan juga minta jabatan serta lain sebagainya. 
Bahkan sering yang kita minta kalau boleh Tuhan segera mengaruniakan semua itu sesuai dengan keinginan kita. Itulah sebabnya ada yang kecewa jika belum atau tidak mendapatkannya.
Lebih dari itu ada yang berhenti untuk berdoa. Ada yang berpikir bahwa percuma berdoa, Tuhan tidak mendengar doa saya apalagi kalau Hal ini ditunjukkan oleh Yesus, ketika Ia berdoa, Ia bukan saja mengekspersikan kepasrahan tapi meng-ekspresikan ketaatan mutlak pada kehendak Bapa di Sorga. Ia meminta kepada Bapa jikalau boleh cawan penderitaan berlalu dari pada-Nya; tetapi dalam ketaatan-Nya pada Bapa, Ia berkata : tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”
Sebagai keluarga Kristen, tiap-tiap kita mempunyai berbagai kebutuhan dan keinginan. Semua ini sering kita nyatakan dalam doa kepada Tuhan. Dan kalau kita berdoa, maka janganlah kita berdoa menurut keinginan kita masing-masing  atau memaksa apalagi seperti mengatur Tuhan untuk melakukan sesuatu pada kita.
Sadar atau tidak, kita menjadikan Tuhan seperti pembantu kita untuk melakukan ini dan itu. Seharusnya kita mengatakan : biarlah kehendak Tuhan yang jadi, bukan kehendak kami. Semoga hal ini dapat kita praktekkan dalam kerja, karya dan doa kita. Amin. lama berdoa ,  sudah bertahun-tahun, siang dan malam berdoa, tidak ada jawaban.
Jika kita belajar dari bagian ayat yang kita baca ini , ternyata berdoa bukalah hal yang mudah tetapi juga bukan hal sulit karena ternyata berdoa berkaitan dengan soal kepasrahan hati, yakni kepasrahan untuk mengatakan bukan kehendak saya yang jadi tapi kehendak Tuhan. 

Doa :  Bapa di Sorga kami percaya bahwa Engkau selalu mendengar doa kami. Banyaklah yang kami mintakan kepada-Mu. Kami percaya sebelum kami menyatakan-Nya, Engkau telah mengetahuinya. Kamipun bermohon jadilah kehendak-Mu dalam keluarga kami, bukan kehendak kami. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.


Read More
Unknown

Bukan Kehendak-Ku, Melainkan Kehendak-Mu yang Jadi!


Kehendakku Mungkin Saja ??

Saya senang menemani anak-anak saya dalam kegiatan ekstra kurikuler mereka. Saya sangat antusias memperhatikan mereka belajar dan berkembang, dan untuk menghibur mereka—ini adalah waktu luang yang paling saya rindukan. Saya memperhatikan mereka berenang, bermain hoki, mengendarai kuda, latihan beladiri, dll. (Saya punya empat anak, sehingga banyak sekali kegiatan yang harus saya hadiri). Sungguh itu merupakan suatu sukacita bagi saya.
Suatu kali, saya mengikuti kelas beladiri anak saya, dan dari dekat saya memperhatikan dengan seksama ia mempelajari beberapa teknik yang baru untuk menahan serangan musuh, melalui tendangan dan lain-lain. Sebelumnya memang ia telah meminta saya untuk mengambil tempat duduk yang terdekat, karena ia akan mempelajari beberapa “gerakan” yang baru. Pertunjukan sabuk hitam tersebut sangat mengesankan, namun yang lebih mengesankan bagi saya adalah bagaimana anak saya begitu maju kemampuannya dalam membuat gerakan-gerakan yang sulit. (Saya tidak sedang menyanjung sebagai ayahnya lho!)

Sementara saya duduk di sana, tidak jauh dari situ, sambil menikmati beberapa kegiatan di lantai gym, seorang anak berusia 3 atau 4 tahun mulai merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Ibunya berkata, “Tidak,” dan matanya diarahkan kembali kepada anaknya yang lain yang sedang berlatih keras Tae Kwon Do. Tetapi ternyata “tidak” bukanlah jawaban yang tepat. Dapat Anda membayangkannya? Sekali lagi sang ibu memberikan anaknya yang kecil itu jawaban “tidak”, tetapi tampaknya sang anak tidak mempedulikan.
Dalam hitungan detik, bencana pun terjadi. Dengan mantap—di dalam jeritan dengan desibel yang terus naik karena semua anak kecil pasti tahu bahwa para orangtua biasanya tuli—anak itu memohon dengan sangat untuk keinginan hatinya, yakni, mainan anak yang lain. Sekali lagi, tetapi kali ini seperti halilintar yang menyambar, keluar lagi respons yang tegas, “Tidak!” “Ada apa dengan kamu? Apakah kamu tidak mengerti bahasa Inggris?” Sang ibu mengingatkan anaknya bahwa mainan itu bukan miliknya, melainkan milik orang lain.
Sang anak berlari ke tangga, menjerit, berteriak sekuat-kuatnya, tampaknya ia telah terlatih untuk itu. Sungguh luar biasa suara yang diciptakan oleh seorang anak kecil! Ia berguling-guling di lantai, berputar-putar, menolak jawaban “tidak” tadi. Sang ibu menjadi sangat malu untuk memberikan jawaban itu lagi. Wajahnya tiba-tiba menjadi penuh dengan warna, yang berubah-ubah seperti warna daun-daun di musim gugur di New England. Saya ingin membantu, tetapi saya takut keterlibatan saya itu malah akan membuat kejadian menjadi lebih buruk. Beberapa orangtua yang peduli pun hanya dapat memandang tanpa daya. Yang lain hanya memperhatikan apa yang akan terjadi kemudian. Apakah kami akan menjadi saksi suatu peristiwa pembunuhan? Yang lainnya lagi—yakni para wanita yang baik hati dan penuh perhatian—berinisiatif melakukan operasi penyelamatan. Saya rasa mereka mengetahui lebih baik daripada orang lain, tentang penderitaan sang ibu.
Peperangan itu terus berlanjut beberapa saat lamanya, Tetapi, sang ibu pun tidak dapat mengubah suasanan. Anak itu terus menjerit sampai terbatuk-batuk. Sang ibu pun pergi sambil menarik anaknya ke balik pintu. Saya tidak tahu apa yang terjadi kemudian pada anak itu… saya tidak tahu apakah saya akan melihatnya lagi…
Tepat setelah pintu tertutup, seorang pria berjalan ke arah saya dan duduk di sebelah saya. Ia mengucapkan kata-kata sindiran tentang cara ibu tadi mengatasi masalah dan menjamin saya bahwa jika itu terjadi dengan anak-nya, pasti tidak seperti itu. Ketika ia menyadari bahwa saya tidak memujinya untuk hikmat yang ia miliki—karena saya sedang memikirkan ibu yang malang tadi—dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan. Saya tidak bermaksud untuk menjadi orang yang acuh, tetapi sungguh-sungguh saya tidak ingin berbicara saat itu, karena saya sedang memfokuskan perhatian saya pada anak saya dan menunjukkan kepadanya bahwa saya memperhatikan setiap gerakannya yang hebat.
Pria di sebelah saya terus berbicara, kali ini tentang politik. Pertama ia memberikan kuliah tentang perang Irak, dan mengapa seharusnya perang itu ditanganani secara berbeda. Tampaknya ia memiliki segala maca jawaban untuk persoalan politik luar negeri A.S. Seandainya pemerintah mencari nasihat kepada orang ini…
Namun, ia kecewa dengan Pemerintah dan bahkan lebih kecewa lagi dengan kurangnya keterlibatan Kanada di Irak. Saya membuat sedikit saja komentar yang akhirnya ia kritik juga sebagai pernyataan yang tidak relevan dan keluar dari topik—meskipun saya tidak menyanggah pendapatnya tentang Kanada. Sejak itu saya berusaha bersikap lebih baik, mengangguk setuju dengan kata-katanya, padahal saya hanya berpura-pura mendengar. Saya berusaha untuk memperhatikan anak saya namun pria ini membuat situasi menjadi jauh lebih parah daripada kejadian ibu dan anak barusan. Seandainya saya bisa memilih di antara keduanya… Anda pasti tahu jawaban saya…
Kedua, ia mulai berbicara tentang agama, agama apa saja. Ia sangat marah dengan gereja Katholik, memaki-maki Paus, mengatakan bahwa ia dan agamanya tidak lebih daripada “mesin pencetak uang”. “Mereka ada hanya untuk menguras saku Anda,” kritiknya, “padahal, apa yang telah mereka lakukan untuk saya?” Namun ia cepat menambahkan, bahwa dia juga masih seorang Kristen sejati. Lalu ia mengatakan lagi, terdapat tiga jenis manusia yang pasti akan dilempar ke neraka: (1) politikus; (2) semua atlet profesional, dan, tentu saja (3) pengacara (Malang nian nasib pengacara!). Ia berkata bahwa mereka semua memiliki satu kesamaan: suka mencuri, menipu, dan memperkaya diri dari orang lain. Ketika saya menanggapi bahwa ia tidak menyebutkan satu jenis dosa, melainkan tiga, dengan cepat ia menjawab bahwa dalam kenyataannya ketiga jenis dosa ini merupakan satu paket!
Apapun yang saya katakan untuk membantunya memahami bahwa saya hanya ingin memperhatikan anak saya, ia tetap memaksa saya untuk memberi perhatian yang cukup bagi jiwanya yang sedang emosi. Seolah-olah ia mencekik leher saya dan memaksa saya untuk memberi telinga kepada permasalahannya, keluhan-keluhannya, dan pendapatnya. Itu merupakan suatu pengalaman yang menyesakkan, sampai rasanya saya sulit menghirup udara.
Mungkin Anda bertanya mengapa saya menggabungkan kisah tentang jeritan seorang anak yang memekakkan telinga dan seorang dewasa yang menjengkelkan. Ini yang hendak saya sampaikan: baik kita berusia tiga atau tiga puluh tahun, permintaan yang berpusat pada diri sendiri adalah sama buruknya! Sungguh! Dan bila kita melakukan hal itu kepada orang lain, pasti kita juga melakukannya kepada Tuhan.

Bukan Kehendakku, Melainkan Kehendak-Mulah yang Jadi!

Pernahkah Anda menghadap Allah dan tanpa malu meminta sesuatu dari keinginan Anda sendiri? Apakah Anda pernah mencekik leher Allah, kalau saya istilahkan, dan meminta-Nya untuk membereskan kehidupan Anda? Pernahkah Anda meminta supaya Ia datang melayani Anda, atau yang lain…? Jangan salah paham dulu. Saya tidak sedang berbicara tentang suatu doa yang terus-menerus, murni dan keluar dari hati. Melainkan saya sedang berbicara tentang suatu pemberhalaan. Saya sedang berbicara tentang, “Pokoknya aku ingin itu. Titik!”
Kita semua pernah—atau barangkali sekarang ini—dengan tangan kita yang kotor, memegang erat anak kita, harta benda, uang, harapan, dan hasrat-hasrat kita, kemudian meminta Allah supaya mendukung agenda kita, dan tak putus-putusnya “mengundang”Nya untuk memberkati ambisi-ambisi kita. Kita semua mirip baik dengan anak kecil itu maupun pria dewasa itu: kita memiliki keinginan kemudian kita meminta-minta kepada orang lain untuk meluluskan keinginan kita, termasuk kepada Allah.
Tetapi sikap seperti ini bukanlah pola kehidupan Kristen yang ditunjukkan Tuhan kepada kita dan yang Ia kehendaki dari kita. Ia menikmati suatu damai sejahtera yang tak tercemar dan tak terputus dalam hubungan dengan Allah, karena ia telah belajar tentang ketaatan melalui penderitaan-Nya (Ibrani 5:8). Ia tidak memalingkan hati-Nya dari Allah dalam suatu permintaan atau kemarahan, melainkan Ia berserah kepada Dia yang mengasihi-Nya. “Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena ketaatan-Nya (bahasa Inggris: His reverent submission) Ia telah didengarkan.” (Ibrani 5:7).
Apakah “ketaatan” merupakan pola kehidupan kita? Berdasarkan Alkitab saya berani mengatakan bahwa ini adalah pola yang dirindukan Tuhan untuk dijalankan di dalam kehidupan Anda sekarang, supaya surga tidak menjadi suatu tempat yang aneh bagi Anda di kemudian hari. Neraka penuh dengan keinginan manusia, sedangkan surga penuh dengan kehendak-Nya. Neraka adalah tempat di mana orang bebas untuk melanjutkan pemberontakannya, tetapi ketahuilah dengan pasti bahwa “tidak ada damai sejahtera bagi si jahat.” Surga adalah bagi orang-orang yang telah melewati Getsemani bersama dengan Tuhan mereka dan yang telah mengatakan, “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi, ya Tuhan!” Hal yang ganjil tentang ketaatan adalah dalam proses tersebut kita akan benar-benar menjadi manusia sejati. Dan apabila kita menolak untuk tunduk, mengangkat tangan kita terkepal ke udara, maka kita menjadi buruk dan jauh dari manusia sejati.
Sangat luar biasa dan mengguncangkan bumi, ketaatan Tuhan kepada Bapa-Nya seperti yang dinyatakan oleh gereja melalui kisah, pengajaran, puisi, penglihatan dan nyanyian. Barangkali salah satu lagu yang terbaik adalah Himne Kristus di dalam Filipi 2:5-11:
2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
2:6 yang walaupun dalam rupa Allah
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu
sebagai milik yang harus dipertahankan,
2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri
dan mengambil rupa seorang hamba,
dan menjadi sama dengan manusia.
2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib.
2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia
dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,
2:10 supaya dalam nama Yesus
bertekuk lutut segala
yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,
2:11 dan segala lidah mengaku:
Yesus Kristus adalah Tuhan,
bagi kemuliaan Allah, Bapa!
Himne tua ini—yang mungkin telah dinyanyikan di dalam gereja sebelum Paulus menuliskannya—adalah tentang penderitaan dan kemuliaan Kristus. Lagu itu dimulai dengan perintah untuk membiarkan semangat dari himne tersebut terserap sampai tulang-tulang Anda, dan untuk membiarkan kehendak Allah bergerak bebas melalui urat darah Anda, bahkan bila untuk itu Anda harus membayar dengan hidup Anda (ay. 5).
Lagu itu dapat dibagi menjadi dua bagian utama, ay. 6-8 dan ay. 9-11, yang bersama-sama membangun tema kembar tentang penderitaan dan peninggian. Di dalam 2:6-8 melodi himne itu memperdengarkan suatu catatan pahit-manis tentang ketaatan Kristus, penderitaan dan pengosongan diri-Nya. Di dalam 2:9-11, himne itu bergulir dengan suara kemenangan, yang mengisi ruangan dengan musik yang manis tentang peninggian Kristus dan kuasa yang diberikan kepada-Nya. Apakah Anda melihat pola itu? Pertama, ketaatan melalui penderitaan, kemudian peninggian yang mulia melalui kuasa Allah.
Apakah Anda memperhatikan pernyataan “bahkan sampai mati di kayu salib” di ay. 8? Tampaknya ini merupakan tambahan dari Paulus sendiri terhadap himne itu dan dengan jelas memfokuskan perhatian kita tidak hanya pada kesediaan Yesus untuk mati, yang menggambarkan suatu kedalaman yang tak terukur akan kesalehan dan kesetiaan-Nya yang tak pernah padam (Ibrani 12:2), melainkan juga kesediaan-Nya untuk menanggung malu dan penghinaan akan salib. Ia dihukum mati sebagai seorang kriminal. Dan kehinaan akan kematian-Nya itu menarik perhatian khusus kepada keindahan yang mulia dan kekuatan dari ketaatan-Nya sebagai seorang Anak di Getsemani. Perang di Golgota telah dimenangkan bukan di bukit itu, melainkan di taman di malam sebelumnya: “Bukan kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang jadi!” Sungguh, apa yang telah hilang di taman (Eden) kini telah kembali—bahkan lebih—juga di taman.
Saya tidak tahu apakah saya akan bertemu dengan anak itu lagi. Barangkali… bila saya sering pergi ke Tae Kwon Do dojang, mungkin dia akan ada di sana bersama dengan ibunya. Saya juga tidak tahu apakah saya akan bertemu dengan pria dewasa itu lagi. Satu hal yang pasti, Allah telah memakai mereka berdua di dalam hidup saya hari itu. Melalui mereka Tuhan menunjukkan betapa kuatnya hati saya melekat pada mainan saya dan betapa saya hanya ingin untuk didengarkan. Melalui mereka Tuhan memperlihatkan saya keburukan dari dosa dan pemberontakan saya. Barangkali Ia juga memperlihatkan kepada Anda hal yang sama…
Tuhan, terima kasih untuk belas kasih-Mu yang begitu indah dan kasih-Mua yang tak pernah putus. Yesus aku bersyukur karena bukan hanya kematian-Mu menyelamatkan aku, melainkan juga memberikan kepadaku suatu pola kehidupan. Engkau telah memanggilku kepada suatu kehidupan yang dipenuhi dengan jawaban “ya” bagi-Mu dan “tidak” bagi keinginanku sendiri. Maka itu aku menyerah kepada-Mu. Tuhan, apapun yang Engkau ingini, dengan anugerah-Mu akan kulakukan. Aku hanya ingin menyukakan-Mu. Aku mengasihi-Mu Bapa dan aku menyerahkan hatika kepada-Mu. Terima kasih untuk sukacita berjalan dalam hadirat-Mu!

Read More

Thursday, March 22, 2018

Unknown

APAKAH ANDA DATANG KE GEREJA SEBAGAI KONSUMEN ?







APAKAH ANDA DATANG KE GEREJA SEBAGAI KONSUMEN?


Philip Yancey |

Memandang ke Sekeliling
Saya terbiasa datang ke gereja dengan semangat konsumen. Saya memandang pujian seperti sebuah pertunjukan. Berikan saya sesuatu yang saya suka. Hiburlah saya.

Soren Kierkegaard berkata bahwa kita cenderung berpikir bahwa gereja itu seperti sebuah teater: kita duduk sebagai penonton, dengan penuh perhatian menonton sang aktor yang berada di atas panggung yang berusaha menarik setiap pasang mata untuk melihatnya. Kalau memuaskan, kita berterima kasih dengan bertepuk tangan atau memberikan sorakan. Namun, sebenarnya gereja harus menjadi yang sebaliknya dari teater. Di dalam gereja Tuhanlah yang menjadi penonton dan bukannya kita.

Pada akhir dari puji-pujian, pertanyaan yang seharusnya dikemukakan bukanlah, “Apa yang saya dapatkan dari semua ini?” tetapi “Apakah Tuhan puas dengan apa yang sudah terjadi?” Sekarang, sewaktu kebaktian penyembahan, saya mencoba untuk mengarahkan pandangan saya kepada Tuhan, dan bukannya pada apa yang saya lihat di atas podium.

Perubahan semacam ini menolong saya untuk menghadapi kekurangan-kekurangan yang saya temui di dalam berbagai macam gereja. Beberapa gereja melibatkan orang awam untuk terlibat di dalam penyembahan. Mereka mengarang lagu atau puisi, memainkan drama singkat, bernyanyi dalam trio dan mengekspresikan diri mereka dengan tari-tarian. Saya mengakui bahwa dengan penilaian standar estetika yang obyektif, dan bahkan dengan standard “cara menyembah” yang subyektif,  banyak dari cara-cara yang semacam ini tidak mempertinggi nilai penyembahan saya.

Saya mencoba belajar dari C.S Lewis, yang menulis tentang gerejanya sebagai berikut:
"Saya Sangat Tidak Menyukai Himne-Himne Dengan Nada-Nadanya Yang Membosankan. Tetapi Ketika Saya Sadar Bahwa Himne-Himne Tersebut Bagaimanapun Juga Dinyanyikan Dengan Penuh Kesetiaan Oleh Seorang Tua Yang Saleh Yang Mengenakan Sepatu Bot Dan Duduk Di Seberang Bangku Gereja Dan Kemudian Anda Sadar Bahwa Sebenarnya, Membersihkan Sepatu Botnya Pun Anda Tidak Layak. Dan Hal Ini Akan Menghilangkan Kesombongan Saya Yang Tersembunyi."

Pada prinsipnya, gereja berdiri untuk kita memuji Tuhan, bukannya untuk menyediakan hiburan atau memberi semangat kepada orang-orang yang terluka atau membangun kepercayaan diri atau memberi fasilitas dalam menjalin persahabatan;  kalau kita gagal dalam hal memuji Tuhan, berarti kita gagal secara keseluruhan.

Di dalam gereja, saya dapat melihat ke podium sebagai penonton, atau saya juga bisa melihat ke atas, kepada Tuhan. Allah pernah berkata kepada bangsa Israel, “Tidak usah Aku mengambil lembu dari rumahmu dan kambing jantan dari kandangmu, sebab punya-Kulah segala binatang hutan, dan beribu-ribu hewan di gunung.” Karena banyak memperhatikan hal-hal di luar penyembahan, akibatnya mereka sudah kehilangan tujuan keseluruhan.

Allah hanya tertarik dengan korban persembahan hati, sikap penundukan diri, dan pengucapan syukur. Sekarang, sewaktu saya menghadiri gereja, saya mencoba untuk memfokuskan diri pada keadaan rohani yang ada di dalam diri saya sendiri daripada hanya duduk di bangku gereja, seperti yang terjadi di dalam sebuah teater dan membuat penilaian-penilaian estika.

(Dikutip dan diedit seperlunya dari buku Gereja: Mengapa dirisaukan?)




Read More

Monday, March 19, 2018

Unknown

Pergumulanku untuk Memahami Jawaban “Tidak” dari Tuhan







Oleh Peregrinus Roland, Cilacap

Dalam hidupku, aku sering meminta hal-hal yang sederhana kepada Tuhan. Aku pernah meminta supaya Tuhan memberikan cuaca yang cerah, jalanan yang tidak macet, ataupun nilai yang baik saat aku mengikuti ujian sekolah dulu.
Namun, pada kenyataannya, tidak semua permintaan kecilku itu terwujud sesuai dengan keinginanku. Kadang, aku jadi sedih. Tapi, itu hanya untuk sesaat dan tidak sampai membuatku kecewa pada Tuhan.
Tapi, ketika aku berdoa memohon supaya Tuhan mewujudkan hal besar dalam hidupku dan Tuhan tidak mengabulkannya, aku pun jatuh dalam kekecewaan mendalam.

Aku pernah meminta pada Tuhan supaya papaku disembuhkan dari penyakitnya. Tapi, Tuhan menjawab tidak. Dia memanggil pulang papaku di saat aku tidak berada di sisinya. Lalu, ketika aku meminta supaya orang yang kusuka menjadi pasangan hidupku, lagi-lagi Tuhan menjawab tidak. Cintaku ditolak. Aku patah hati. Dan, yang terakhir, ketika aku meminta pada-Nya supaya bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar yang kudambakan, Tuhan kembali menjawab tidak. Aku gagal dalam tahapan psikotes dan harus kembali melamar pekerjaan di tempat lain.

Ketika Tuhan memberikan jawaban “tidak” atas doaku, rasanya berat bagiku untuk menerimanya. Aku merasa Tuhan itu seperti tidak peduli kepadaku dengan membiarkan hal-hal buruk terjadi menimpa hidupku.
Namun, tatkala aku menceritakan pergumulan ini kepada temanku, aku merasa tertegur oleh sebuah ayat dari Yesaya 30:15 yang berkata:
“Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu.”

Teguran ini membuatku mengintrospeksi diriku dan doa-doaku. Selama ini, aku mendapati alih-alih berdoa untuk mengizinkan Tuhan merenda jalan hidupku, aku malah menyetir Tuhan untuk tunduk pada kemauanku dan memaksa-Nya memberkatiku. Aku merasa bahwa rancanganku sendiri adalah yang terbaik. Sehingga, ketika Tuhan tidak mewujudkannya, aku pun menjadi khawatir dan juga kecewa. Di saat inilah, aku tidak sedang menempatkan Tuhan sebagai Pribadi yang penuh kuasa, melainkan hanya seperti seorang pembantu yang harus taat pada apa yang kuinginkan.

Akhirnya, aku sadar bahwa aku telah memaknai doa dengan cara yang salah. Oleh karenanya, aku perlu bertobat. Raja Daud memberikanku contoh yang baik dalam membangun kehidupan doa yang berkenan kepada-Nya. Dalam Mazmur 25:1-5 Daud berdoa:
“Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku…Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku. Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarilah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.”

Daud berdoa bukan supaya Tuhan mengikuti apa yang jadi kehendaknya, melainkan supaya Tuhan memimpin dan menuntun hidup Daud. Aku belajar bahwa bagian yang terpenting dalam sebuah doa bukanlah permintaan kita, tetapi Allah sendirilah yang paling penting. Oleh karenanya, dalam permohonan Daud untuk meminta pimpinan-Nya itu, Daud mengawalinya dengan menyerahkan dirinya kepada Allah.
Ketika aku memahami kebenaran ini, aku pun dimampukan untuk dapat memaknai jawaban “tidak” yang pernah Allah berikan dalam doa permohonanku. Aku pun mengubah isi doaku dari yang semula mendikte Tuhan untuk mengabulkan doaku, menjadi doa yang berisi penyerahan diri kepada tuntunan-Nya.
Tatkala papaku sakit, menjelang kematiannya Papa yang semula cukup anti dengan gereja malah jadi sering berdoa dan berulang kali ingin ikut ibadah di gereja. Kupikir ini adalah hal yang teramat baik. Papa mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan aku tentu percaya bahwa meski secara fisik Papa telah meninggal, tapi Papa telah berada di surga bersama Tuhan.

Tatkala cintaku ditolak oleh seseorang yang kuyakini tepat menjadi pasangan hidupku, aku belajar untuk percaya bahwa apa yang menurutku terbaik itu belum tentu terbaik menurut Tuhan. Tuhan pasti menyediakan seorang lain yang sepadan untukku.
Tatkala aku gagal mengikuti seleksi pekerjaan, aku pun belajar untuk percaya bahwa kegagalan ini bukanlah akhir dari perjalanan hidupku. Aku perlu berusaha lebih keras dan tidak menyerah. Kelak, perjuanganku inilah yang akan menjadi bekal supaya aku dapat menjadi seorang pekerja yang tangguh.

Pada akhirnya, aku percaya bahwa meski Tuhan menjawab permohonanku dengan jawaban “tidak”, itu tidak berarti bahwa Dia sedang tidak mempedulikanku. Tapi, Dia sedang meyakinkanku bahwa Dia memiliki sesuatu yang lebih baik untukku. Sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagiku.

Read More

Friday, March 16, 2018

Unknown

Bagaiman kamu mengenal Tuahan pertama kali ?







Bagaimana pengalamanmu mengenal Tuhan Yesus pertama kali? Bagimana Cerita Kamu ?
Read More
Unknown

“Bagiku, Paskah adalah . . .”


Read More
Unknown

Jadwal Perayaan Paskah GBKP Runggun Cikarang 2018

Jadwal Perayaan Paskah GBKP Runggun Cikarang 2018.


Read More